Pages

Rabu, 20 Juni 2012

Mencermati Ketaatan Para Sahabat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in)”. (HR. Bukhari-Muslim). Sesungguhnya para sahabat radhiyallahu ajma’in telah ditaqdirkan Allah Ta’ala menjadi cermin manusia terbaik dalam hal ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Cermin manusia terbaik dalam hal cara memahami dan mengamalkan Islam. Maka menjadi hal yang sangat penting bagi kita untuk menelaah dan meneladani perihidup para sahabat nabi dalam menjalankan agama yang mulia ini. Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali kembali berdasarkan perbaikan yang dilakukan oleh generasi pertama”. Oleh sebab itu, dalam bahasan kali ini marilah kita mencoba mencermati sebagian kecil dari sikap para sahabat nabi terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab kedadanya..” (QS. An-Nuur:31). Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah untuk menutup aurat bagi wanita muslimah. Tentang ayat tersebut, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat yang pertama, yaitu Surat An-Nuur ayat 31: “Bahwasannya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Ketika turun ayat ‘..dan hendaklah mereka menutupkan “khumur” –jilbab- nya ke dada mereka..’ maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Bukhari)

Lihatlah semangat yang ada dalam diri wanita muslimah kala itu untuk tunduk dan patuh kepada apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Para wanita muslimah yang mendengarkan perintah tersebut dimana saja mereka berada segera melaksanakan perintah menutup hijab tanpa berpikir panjang dan bertanya tentang alasannya, bahkan disebutkan pula bahwa sampai-sampai mereka tidak tahu apabila sedang berjalan ke depan atau belakang. Mereka tidak punya waktu untuk memodifikasinya karena memang hal tersebut adalah langsung dari Allah. Tidak ada diantara wanita muslimah tersebut yang mengatakan tidak siap seperti yang sering menjadi alasan wanita pada zaman sekarang.

Marilah kita perhatikan kisah kedua berikut, ketika turun ayat tentang pengharaman khamr. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Anas bin Malik ra berkata: Aku sedang memberi minum para tamu di rumah AbuThalhah, pada hari khamr diharamkan. Minuman mereka hanyalah arak yang terbuat dari buah kurma. Tiba-tiba terdengar seorang penyeru menyerukan sesuatu. Abu Thalhah berkata: Keluar dan lihatlah! Aku pun keluar.Ternyata seorang penyeru sedang mengumumkan: Ketahuilah bahwa khamr telah diharamkan. Arak mengalir di jalan-jalan Madinah. Abu Thalhah berkata kepadaku: Keluarlah dan tumpahkan arak itu! Lalu aku menumpahkannya (membuangnya). Orang-orang berkata: Si fulan terbunuh. Si fulan terbunuh. Padahal arak ada dalam perutnya. (Perawi hadis berkata: Aku tidak tahu (apakah itu juga termasuk hadis Anas). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena makanan yang telah mereka makan dahulu, asal mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amal-amal saleh. (Shahih Muslim No.3662). Pada awal kedatangan Islam, khamr masih belum diharamkan, sehingga siapapun dapat minum khamr tanpa ada dosa. Namun lihatlah bagaimana sikap para sahabat ketika turun Surah Al-Maidah ayat 90-91 yang menerangkan tentang pengharaman khamr secara total, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” Mereka para sahabat tidak hanya berhenti dari meminum khamr, namun juga menumpahkan khamr yang dimiliki ke jalanan sebagai tanda benci terhadap apa yang diharamkan Allah atas dirinya. Tidak terfikir dibenak mereka tentang berapa harga atau nilai khamr yang ditumpahkan dijalanan tersebut atau menimbang-nimbang kerugian yang didapat atas terbuangnya khamr tersebut. Yang ada dibenak mereka adalah adanya perintah berupa larangan untuk meminum khamr dari Allah Rabb semesta alam.
Dua penggalan kisah diatas merupakan sebagian kecil contoh dari sikap para sahabat terhadap perintah dari Allah dan Rasul-Nya baik berupa perintah untuk melakukan suatu hal maupun larangan untuk meninggalkan suatu hal. Kita bisa melihat bagaimana semangat mereka dalam mentaati perintah Allah. Tidak ada diantara mereka yang mempertanyakan, memperselisihkan, mempertimbangkan untung ruginya, terlebih lagi mendebat perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahkan mereka menjalankan perintah yang datang tersebut segera setelah mendapat penjelasannya dengan mengerahkan segala upaya yang mereka miliki pada saat tersebut. Bandingkan hal ini dengan kebanyakan kita saat ini. Masih banyak sebagian dari kita yang menimbang-nimbang perintah, melihat untung rugi suatu perintah dan larangan, mengatakan belum mendapat hidayah, belum siap atau belum mampu, dan alasan-alasan lainnya. Bahkan karena terlalu menuhankan akal dan hawa nafsu ada diantara manusia yang mempertanyakan kembali dan meragukan perintah Allah dan Rasul-Nya yang sudah jelas. Wana’udzubillah.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (Qs Al-Anfaal:24)
Para sahabat radiallahu ajma’in dengan keyakinan yang tinggi melihat suatu perintah Allah adalah sebagai sumber dan jalan kebahagiaan. Berpaling dan membangkan perintah Allah adalah sebab utama dari kesengsaraan di dunia dan akhirat. Tidak ada sedikitpun keraguan mereka akan hal ini. Tidak ada diantara mereka yang mempertimbangkan perintah dan larangan Allah dan Raul-Nya dengan akal dan hawa nafsu. Karena mereka yakin bahwa agama dan wahyu itu tidak dibangun dengan akal manusia, tetapai berasal langsung dari Allah Dzat yang Maha Tinggi. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 3-4). Sebagaimana dikatakan juga oleh sahabat Ali bin Abi Thalib, beliau berkata, “Seandainya agama itu semata-mata menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu ketimbang bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya.” (HR. Abu Daud)
Dengan merenungkan hal tersebut, hendaklah kita melihat perintah yang telah shahih dan jelas berasal dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebab-sebab jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Setelah itu, bersegeralah untuk melaksanakannya. Karena pada dasarnya perintah tersebut berasal dari Allah Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana, Dzat yang Maha Mengetahui, serta yang Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Ya Allah tolonglah kami untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan agar bisa memperbagus ibadah kepada-Mu. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisaa’:69)

Kota Mangga_19/06/12_21:23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar